Quiet cutting cara pemutusan hubungan kerja diam-diam ala HRD

Quiet Cutting: Krisis Etika HRD atau Strategi Efisiensi?

Awal tahun 2025 penuh tantangan bagi para pelaku usaha dan karyawan. Tekanan ekonomi membuat perusahaan mengambil strategi efisiensi untuk menekan biaya operasional, dengan harapan bisnis tetap berlanjut.

Gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal dapat merusak citra perusahaan dan memicu ketidakstabilan organisasi. Oleh karena itu, seorang HR dituntut untuk melakukan efisiensi dengan cara lain.

Metode Quiet cutting kerap menjadi salah satu taktik pragmatis untuk dilakukan. Taktik ini dapat membuat perusahaan lebih mudah menekan biaya, menyederhanakan struktur organisasi, dan menghindari prosedur rumit PHK.

Namun, dalam aspek etika dan kemanusiaan, quiet cutting jelas menyisakan tanda tanya. Sebagai HR, bagaimana seharusnya menyikapi tren ini agar tak berubah menjadi area manipulatif yang merugikan perusahaan dan karyawan?

Apa itu Quiet Cutting dalam Ketenagakerjaan?

Merujuk dari situs hrdailyadvisor, Quiet cutting dikatakan sebagai istilah baru dalam dunia ketenagakerjaan yang menggambarkan strategi pemangkasan karyawan secara diam-diam. 

Alih-alih melakukan Pemutusan Hubungan Kerja secara langsung dan terbuka sebagaimana diatur dalam Undang-undang, perusahaan justru memindahkan karyawan ke posisi yang dianggap kurang strategis, tidak diminati, atau bahkan menghambat karir mereka. Tujuannya untuk mendorong karyawan resign secara sukarela.

Seringkali, posisi baru tersebut memiliki tanggung jawab lebih besar, sedangkan penyesuaian gaji atau fasilitas sesuai tidak dijalankan. Hal tersebut, menyebabkan dilema dalam praktik manajemen sumber daya manusia di perusahaan.

Fenomena seperti ini sudah ada sejak lama, mulai mencuat lagi pasca pandemi ketika banyak perusahaan mengalami tekanan efisiensi, namun enggan menghadapi beban sosial dan aturan dari PHK yang frekuensinya tinggi. PHK diam-diam dinilai sebagai cara halus manajemen organisasi tanpa menimbulkan gelombang resistensi besar.

Secara teknis, tidak ada pemecatan resmi dalam metode ini. Tapi dampaknya, bisa jauh lebih menyakitkan daripada Pemutusan Hubungan Kerja. Seseorang yang semula menempati posisi strategis tiba-tiba dialihkan ke peran tidak jelas, tanggung jawabnya di luar kapasitas, atau bahkan dipindahkan ke bagian yang tidak sesuai kemampuannya.

Kondisi tersebut, tentu membuat karyawan merasa kehilangan arah dan semangat kerja. Meskipun dalam konteks hukum ketenagakerjaan di Indonesia, praktik seperti mutasi kerja diperbolehkan. Namun, jika dilakukan tanpa dasar objektif, tanpa komunikasi, dan dengan niat memaksa karyawan resign, maka hal ini dapat dipertanyakan secara etis.

Apa Perbedaan Quiet Cutting dan Quiet Quitting

Istilah quiet cutting dan quiet quitting seringkali membingungkan. Pada dasarnya, kedua istilah ini memiliki makna yang bertolak belakang. Mari kita bahas perbedaan kedua istilah ini agar tidak menimbulkan kekeliruan.

Mengutip dari situs clokify, Quiet quitting adalah respon dari karyawan terhadap ketidakpuasan kerja. Sementara quiet cutting, inisiatif perusahaan dalam menyikapi perubahan efisiensi tenaga kerja secara diam-diam.

Quiet quitting terjadi ketika karyawan secara perlahan mulai membatasi keterlibatan mereka di tempat kerja. Karyawan tidak benar-benar resign, tetapi hanya melakukan pekerjaan sesuai job desk dengan seadanya. Hal ini mencerminkan hilangnya motivasi karena faktor kelelahan, beban kerja tidak seimbang, atau manajemen tidak suportif.

Sebenarnya Quiet cutting bisa jadi serangan balik menghadapi quiet quitting. HR maupun tim manajemen bisa saja memindahkan karyawan ke posisi baru kurang strategis, tidak sesuai kompetensi, atau bahkan ketidakjelasan dari posisi tersebut. Tujuannya, agar karyawan merasa tidak cocok dan akhirnya mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Situasi semacam ini yang dinamakan PHK secara tidak langsung atau diam-diam. 

Sebagai seorang HR, fenomena semacam ini perlu disikapi dengan bijak. Quiet quitting jadi sinyal bahwa ada yang salah dalam sistem manajemen karyawan, artinya perusahaan memerlukan perbaikan budaya kerja. Sedangkan cara seperti mengakhiri hubungan kerja tanpa komunikasi terbuka, menimbulkan dilema karena mengorbankan karir karyawan demi efisiensi organisasi.

Keduanya, juga mencerminkan kegagalan komunikasi dan ketidakjelasan tujuan antara karyawan dan perusahaan. Bedanya, PHK diam-diam memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap psikologis dan keadilan kerja.

Maka dari itu, HRD harus mampu menciptakan sistem lebih transparan, suara aspirasi karyawan perlu didengar dan keputusan yang diambil perusahaan tidak boleh bersifat menjebak.

Bolehkah HRD Melakukan Quiet Cutting?

Pada dasarnya hukum ketenagakerjaan memberi ruang bagi perusahaan untuk melakukan perpindahan kerja. Asal tetap berlandaskan asas keterbukaan, kebebasan obyektif, adil, setara, dan tanpa diskriminasi. Perusahaan juga perlu meminta persetujuan dari karyawan mengenai perpindahan kerjanya, di samping jika ada pemindahan maka hak dan benefit yang diperoleh harus tetap sama. Selain itu, pelaksanaan mutasi juga perlu mengacu pada perjanjian kerja perusahaan.

Saat PHK secara halus dilakukan, justru memicu risiko lebih besar. Tidak hanya menurunkan kepercayaan internal, strategi ini bisa memperburuk citra perusahaan, meningkatkan angka turnover, bahkan memunculkan gugatan hukum apabila terbukti merugikan karyawan dan melanggar peraturan ketenagakerjaan. 

Cara HR menghadapi quiet cutting tidak boleh sekadar tunduk pada strategi efisiensi sepihak. Bagaimanapun juga HR bertugas menjembatani perusahaan dan karyawan. Dalam menghadapi tantangan organisasi, HR justru harus menjadi pihak yang mendorong solusi transparan, adil, dan mendukung keberlanjutan manajemen SDM.

Jika keputusan perusahaan perlu melakukan efisiensi, HR bisa memfasilitasi pendekatan lebih terbuka. Hal itu jauh lebih etis dan membangun kredibilitas jangka panjang, dibandingkan diam-diam menggeser karyawan agar keluar sendiri.

PHK sepihak yang terselubung, tidak hanya berdampak pada karyawan saja, melainkan juga memicu efek domino terhadap moral tim, menciptakan iklim kerja tidak sehat, dan merusak reputasi perusahaan dalam jangka panjang.

Jadi, meskipun secara prosedural, HR bisa menjalankan keputusan rotasi, bukan berarti cara ini dibenarkan sepenuhnya. HR dikatakan andal jika mampu menyeimbangkan kepentingan bisnis dengan integritas kemanusiaan, sebagaimana nilai-nilai dasar profesinya.

Cara HRD Menghindari Quiet Cutting

Dalam menghadapi tantangan efisiensi atau restrukturisasi, cara HRD menghadapi quiet cutting bukanlah dengan strategi manipulatif yang justru merusak moral karyawan.  Untuk menghindari situasi ini, HRD dapat melakukan beberapa langkah:

Langkah pertama, memastikan proses perpindahan kerja didasarkan pada evaluasi objektif, bukan strategi tersembunyi, sesuai Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yang disempurnakan oleh Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan.

Setiap perpindahan karyawan perlu disertai dengan alasan jelas, komunikasi dua arah, dan dokumentasi transparan, karyawan berhak tahu mengapa mereka dipindahkan dan seperti apa ekspektasi ke depannya, bukan secara sepihak saja.

Ketika perusahaan menghadapi kebutuhan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja atau perampingan tim, kejujuran harus diutamakan. Komunikasikan secara langsung dan terbuka kepada karyawan. Menyembunyikan atau memanipulasi hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan dan memperburuk moral tim. 

Jika PHK memang tak terhindarkan, HRD harus memastikan bahwa karyawan yang terdampak tetap diperlakukan dengan etis. Menyediakan pesangon dan dukungan pasca-kerja sebagai  bentuk penghargaan atas kontribusi mereka.

Kedua, HRD perlu meningkatkan kompetensi dalam manajemen perubahan. Proses restrukturisasi dan operasional organisasi pasti akan terjadi dalam siklus hidup perusahaan. Peran aktif HR dalam memantau pelaksanaan kebijakan dan memastikan tidak menimbulkan kerugian bersama.

Lakukan ulasan kinerja secara berkala serta memberikan feedback konstruktif kepada karyawan. Jika ada masalah, diskusikan solusi bersama dengan karyawan bukan hanya mengambil keputusan sepihak.

Hindari penggunaan bahasa multitafsir dalam kebijakan organisasi, serta mensosialisasikan seluruh kebijakan dengan baik dan mudah dipahami karyawan.

Ketiga, perusahaan sebaiknya berinvestasi dalam pengembangan sistem manajemen kinerja dan perencanaan suksesi sehat. Apabila ada karyawan yang kinerjanya dianggap kurang optimal, pendekatan yang lebih etis adalah memberikan pelatihan terlebih dahulu. 

HR harus aktif membangun dialog dan membuka ruang diskusi mengenai pengembangan karir, alih fungsi peran, atau bahkan kemungkinan reskilling sebelum tiba-tiba melakukan mutasi. 

Jangan lupa, memperhatikan work-life balance karyawan. Ketakutan akan ketidakpastian kerja bisa sangat merusak produktivitas dan kesejahteraan karyawan. HRD perlu mendorong budaya organisasi sehat dengan membangun rasa aman secara psikologis. Termasuk dengan menyediakan akses ke konseling, ruang feedback, serta kepastian atas kebijakan manajemen perubahan. ***

Kontributor: Roudlotul Auwalina

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *