Sebagai HRD pernahkah Anda merasakan frustasi saat proses rekrutmen? Posisi Anda jadi serba salah, banyak pelamar masuk tapi tidak ada yang cocok dengan kriteria. Pada sisi lain, tekanan manajemen agar segera mengisi posisi, juga tak bisa diabaikan. Ujungnya, Anda dituntut memilih antara kualitas atau kecepatan.
Perusahaan tentu ingin mendapat karyawan siap kerja tanpa banyak drama. Masalahnya, banyak pelamar khususnya dari generasi Z, asal melamar tanpa memahami kecocokan kompetensi dengan kriteria kebutuhan perusahaan. Inilah yang menyebabkan job mismatch semakin tinggi. Alhasil, HRD harus ekstra menemukan cara merekrut karyawan yang efektif.
Banyak yang menganggap pekerjaan HRD itu mudah, tinggal seleksi dan wawancara, lalu selesai. Padahal faktanya jauh lebih rumit, karena satu kesalahan rekrutmen bisa berdampak pada performa tim, bahkan memperlambat laju bisnis. Inilah mengapa cara merekrut karyawan saat ini perlu dipikirkan matang.
Sebenarnya tantangan seperti apa yang menyebabkan problematika ini? Bagaimana HRD bisa menentukan cara merekrut karyawan yang pas? Akan kita bahas bersama di artikel ini.
Tantangan Merekrut Karyawan Gen Z
Menemukan kandidat dari Generasi Z terlihat sederhana, tapi juga penuh resiko bila tidak dilakukan dengan strategi yang tepat. Generasi ini membawa potensi besar, namun potensi itu datang dengan banyak tantangan baru yang belum pernah dihadapi HRD di generasi sebelumnya. Adapun tantangan yang dihadapi HRD dalam merekrut karyawan Gen Z diantaranya:
Kesenjangan Kompetensi dan Kualifikasi Kerja
Jika melihat proyeksi dunia kerja Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, kekurangan tenaga kerja kompeten menjadi tantangan serius. Survei Global Talent Crunch dari Korn Ferry memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi defisit sekitar 18 juta tenaga kerja terampil hingga tahun 2030. Sayangnya, kondisi ini sudah mulai terasa sekarang, terutama dalam proses perekrutan karyawan muda.
Mayoritas pelamar kerja saat ini berasal dari kalangan Gen Z, kebanyakan lulusan baru yang masih minim kompetensi dan pengalaman profesional. Meskipun mereka cepat belajar dan memiliki kecakapan digital tinggi, banyak di antara mereka justru malas upgrade skill sesuai kebutuhan karir di dunia kerja. Akibatnya, mereka sering kali tidak memenuhi kualifikasi yang dicari perusahaan.
Bahkan hampir 50% recruiter kesulitan saat mencari karyawan akibat kesenjangan tersebut. Kriteria ideal HRD ketika mencari karyawan yang cocok dengan ekspektasi perusahaan harus sesuai dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, skil dan kompetensi kerja, hingga budaya kerja. Saat kondisi tersebut tidak terpenuhi, otomatis mendapat karyawan impian pun nihil.
Ketidakcocokan dengan Paradigma Gen Z
Memahami cara kerja Gen Z tentunya tidak bisa dilakukan dengan menyamaratakan pendekatan kerja kuno. Tumbuhnya generasi ini di era kebebasan digital dengan semangat dan cepat belajar, membuat mereka menganggap pekerjaan bisa memberikan sisi fleksibilitas dan kenyamanan sesuai keinginan.
Cara pandang Gen Z kerap membingungkan perusahaan, menimbulkan stereotip negatif yang melekat pada mereka. Sifatnya yang dianggap mudah tersinggung, sulit menerima kritik, dan terlalu baperan, sering kali membuat HR kesulitan memberi feedback secara langsung.
Ketidakcocokan ini menjadi salah satu penyebab sulitnya menyesuaikan dan mempertahankan karyawan muda, bahkan sejak tahap awal rekrutmen. Tidak jarang mereka cepat resign dan berpindah-pindah kerjaan akibat sistem kerja berat, tidak transparan, dan perusahaan hanya mengagungkan loyalitas.
Perusahaan merasa sulit menemukan kandidat siap kerja, sementara Gen Z merasa tempat kerja tidak memahami kebutuhan dan nilai-nilai mereka. Gap ekspektasi ini bisa memperbesar angka turn over, meningkatkan biaya rekrutmen, dan menciptakan ketidakstabilan organisasi.
Kurangnya Komitmen Berkarir
Salah satu tantangan besar yang dihadapi HRD dalam merekrut karyawannya adalah mudah bosan, kurang agile, sampai tidak maksimalnya saat bekerja. Tidak seperti generasi sebelumnya yang cenderung loyal, Gen Z lebih berani pindah kerja jika merasa tempat kerjanya tidak lagi mendukung pertumbuhan pribadi maupun karir.
Mereka juga tidak segan mengambil jeda karir untuk healing, mengejar passion, atau mencoba jalur karir baru yang tidak linier. Ketika karyawan keluar terlalu cepat, siklus rekrutmen terus berulang dan menyita waktu, biaya, serta energi. Bahkan dalam beberapa kasus, karyawan Gen Z memilih mundur hanya dalam hitungan minggu, tanpa alasan jelas, atau tanpa menyelesaikan masa probation.
Kurangnya visi karir jangka panjang ini menjadi hambatan tersendiri. Sebab, perusahaan butuh SDM yang tidak hanya bisa bekerja, tetapi juga bersedia tumbuh bersama organisasi. Tanpa adanya komitmen dari kedua sisi, upaya rekrutmen hanya menjadi proses administratif, bukan investasi jangka panjang.
Peran HRD dalam Proses Rekrutmen Karyawan
Perencanaan sumber daya manusia adalah bagian penting dari upaya merencanakan proses rekrutmen karyawan berkualitas. Berikut, peran HRD dalam rekrutmen karyawan:
1. Mengidentifikasi Kebutuhan SDM
Hal ini mencakup identifikasi melalui analisis beban kerja, tingkat produktivitas, serta pemetaan keterampilan karyawan saat ini. Estimasi ini melibatkan prediksi jumlah tenaga kerja yang diperlukan, bidang kerja, serta kualifikasi yang sesuai.
Setelah estimasi, HRD bertugas menguraikan secara spesifik posisi apa yang dibutuhkan, jumlah kebutuhan posisi, serta kompetensi yang harus dimiliki oleh calon karyawan. Itu juga mencakup penyusunan job description dan job specification untuk masing-masing posisi. Tujuannya adalah mempermudah proses seleksi kandidat agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
2. Merancang Strategi Rekrutmen
Strategi ini mencakup metode seleksi, pemilihan saluran distribusi informasi lowongan, serta cara screening kandidat. HRD juga perlu mempertimbangkan aspek transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan guna menghindari konflik.
Bukan hanya itu, proses ini juga mencakup tahapan seleksi dan wawancara. Mulai dari penyaringan CV, pelaksanaan tes kemampuan, hingga wawancara, HRD memastikan bahwa proses seleksi berlangsung objektif dan menyeluruh. Setelah kandidat terpilih, HRD mengirimkan offer letter yang menjelaskan secara transparan detail posisi, hak dan kewajiban, serta benefit yang akan diterima.
3. Menjaga Employee Branding
Salah satu peran vital HRD adalah membangun dan menjaga employer branding di mata calon karyawan. Employer branding yang positif membuat perusahaan lebih menarik di mata pelamar berkualitas. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada jumlah pelamar, tetapi juga terhadap kesetiaan dan kepercayaan yang terbangun sejak awal.
Dalam menjaga citra ini, HRD perlu menjalankan manajemen hubungan karyawan dengan baik, bahkan sejak kandidat masih dalam proses seleksi. Komunikasi yang sopan, pemberian umpan balik, serta proses seleksi yang profesional akan meninggalkan kesan positif, sekalipun kandidat tidak diterima. Selain itu, pengalaman rekrutmen yang menyenangkan juga akan meningkatkan kemungkinan kandidat merekomendasikan perusahaan kepada jaringan mereka.
4. Evaluasi dan Monitoring Hasil Rekrutmen
Setelah proses rekrutmen selesai, HRD wajib melakukan evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas proses yang dijalankan. Evaluasi ini meliputi pengukuran terhadap beberapa indikator kinerja rekrutmen seperti timeline recruitment, kualitas pasca perekrutan, dan turnover rate. Melalui monitoring ini, perusahaan dapat mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan dan memastikan bahwa strategi rekrutmen di masa mendatang lebih efisien dan tepat sasaran.
Seperti Apa Gen Z Sebagai Karyawan?
Banyak perusahaan merasa kewalahan dan kerepotan bekerja bersama Gen Z. Hal itu disebabkan adanya perbedaan pemahaman tentang konsep bekerja. Selain itu, HRD juga tak punya banyak pilihan karena Gen Z akan mendominasi pasar tenaga kerja. Maka, memahami mereka adalah sebuah keharusan. Mengutip dari YourTango, terdapat sejumlah konsep cara kerja dari Gen Z:
1. Memprioritaskan Gaji, Namun Tidak Ingin Mengorbankan Kesejahteraan
Lebih dari 70% Gen Z memprioritaskan kompensasi dan transparansi gaji saat memilih pekerjaan. Mereka mendambakan stabilitas finansial, tetapi untuk mencapai tujuan finansial jangka panjang jadi tidak realistis. Dimana biaya hidup tinggi dan gaji dianggap tak seimbang. Mereka juga tidak rela bekerja di perusahaan toxic dan membebani tanggungan diri sendiri.
2. Menjaga Work-Life Balance dan Kesehatan Mental
Dalam memilih pekerjaan, Gen Z mengedepankan work-life balance sebagai prioritas utama. Sejumlah 83% Gen Z mengaku akan resign dari pekerjaan, jika beban kerja tidak realistis atau mengalami burnout. Mereka menolak budaya hustle (bekerja secara berlebihan) dan lebih memilih bekerja di lingkungan kerja yang menghargai kesehatan mental dan mendukung kesejahteraan emosional.
3. Tidak Mau Terikat Hubungan Emosional dengan Kantor
Adanya teknologi dan fleksibilitas kerja seperti hybrid atau remote, membuat Gen Z beranggapan tidak lagi menganggap kantor sebagai satu-satunya tempat membangun komunitas. Mereka lebih memilih menjaga batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Sebanyak 55% dari mereka tidak merasa terikat secara emosional dengan rekan atau lingkungan kerja. Hal ini berdampak pada loyalitas yang menimbulkan persepsi jika budaya kerja tidak sesuai harapan, mereka tak segan mencari peluang baru.
4. Mencari Makna dan Nilai dalam Pekerjaan
Gen Z mencari pekerjaan yang relevan dengan nilai pribadi dan memberi makna. Mereka ingin merasa terhubung dengan visi perusahaan, dan termotivasi saat diberi ruang untuk mengekspresikan ide. Jika mereka merasa pekerjaannya tidak memberi kontribusi positif atau terlalu mekanis, maka produktivitas dan loyalitas mereka akan rendah. Tidak heran jika resign jadi pilihannya.
5. Merasa Kurang Dihargai dan Sulit Mendapat Dukungan
Gen Z juga kerap merasa tidak dihormati di tempat kerja. Setidaknya hampir 40% dari mereka mengalami perundungan atau perlakuan negatif di kantor. Mereka juga merasa kurang mendapat mentor yang membantu berkembang.
Sebenarnya, mereka mengharapkan feedback berkembang, penghargaan atas pencapaian, dan komunikasi dua arah. Tanpa adanya dukungan dan arahan dari atasan, mereka mudah merasa tidak dihargai dan mudah menarik diri dari tempat kerja.
Cara Merekrut Karyawan Gen Z yang Berkualitas
Merekrut karyawan tidak hanya soal memenuhi sesuai kualifikasi lowongan kerja, tapi juga memastikan bahwa talenta yang bergabung benar-benar selaras dengan kebutuhan dan budaya perusahaan.
Dalam upaya merekrut talenta Gen Z yang berkualitas, diperlukan strategi rekrutmen yang lebih adaptif dan terukur. Berikut beberapa pendekatan yang dapat diterapkan oleh HRD:
1. Menawarkan Fleksibilitas dan Lingkungan Kerja Inklusif
Fleksibilitas kerja sering kali menjadi indikasi lingkungan inklusif yang memungkinkan Gen Z menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Tidak hanya fleksibilitas secara kerja, melainkan juga bagaimana perusahaan bisa memberikan pembelajaran dan pelatihan.
Sebab mereka lebih tertarik bekerja dalam budaya organisasi yang terbuka terhadap ide, kreatif, dan menghargai nilai kenyamanan. Strategi ini terbukti mampu mengurangi tingkat turnover dengan meningkatkan kepuasan kerja dan rasa dihargai oleh perusahaan.
2. Membangun Employer Branding yang Kuat
Gen Z sangat memperhatikan reputasi dan nilai-nilai perusahaan sebelum melamar pekerjaan. Oleh karena itu, menunjukkan komitmen perusahaan terhadap keseimbangan hidup dan pengembangan diri dapat memperbesar kemungkinan Gen Z memilih bergabung.
Meskipun teknologi penting, Gen Z juga menghargai komunikasi yang cepat dan transparan. Memberikan feedback secara langsung, mempersonalisasi pesan rekrutmen, dan menjaga waktu proses seleksi tetap singkat adalah langkah yang bisa meningkatkan pengalaman pelamar. Kandidat Gen Z cenderung kehilangan minat jika proses terlalu panjang atau tidak ada kabar berhari-hari.
3. Menggunakan Multi-Channel Sourcing
Guna menjangkau Gen Z lebih luas, perusahaan perlu memanfaatkan berbagai kanal rekrutmen. Kombinasi strategi rekrutmen dari kampus (career fair, magang), media sosial (LinkedIn, Instagram, TikTok), dan employee referral bisa sangat efektif.
4. Seleksi Berbasis Kompetensi
Seleksi berlapis berbasis kompetensi adalah metode yang objektif untuk menilai kandidat berdasarkan perilaku sebelumnya, pengalaman, potensi dan kemampuan kerja, hingga kecocokan dengan organisasi. Teknik ini membantu perekrut menggali contoh konkret keterampilan Gen Z, agar mendapati karyawan Gen Z yang berkualitas secara kompetensi dan nilai-nilai organisasi.
Bahkan, menurut data, pendekatan ini dapat meningkatkan peluang menemukan kandidat yang sesuai hingga 60% dibandingkan metode konvensional. Ini menjadikan proses rekrutmen lebih inklusif dan menjaring talenta muda yang kompeten dan adaptif.
5. Menawarkan Kompensasi dan Tunjangan Kompetitif
Meski bukan satu-satunya pertimbangan, kompensasi tetap menjadi faktor penting bagi Gen Z. Survei menunjukkan bahwa lebih dari 57% dari mereka merasa tidak dibayar sepadan dengan kontribusinya. Maka dari itu, menawarkan paket kompensasi transparan dan kompetitif bisa menjadi daya tarik kuat dalam menarik talenta muda.
Selain gaji, tunjangan lain seperti manfaat pensiun, program kesehatan mental, serta fleksibilitas kerja sangat dihargai. Menariknya, Gen Z juga lebih memperhatikan tunjangan jangka panjang dan program yang menunjang kesejahteraan emosional mereka. Hal ini menandakan pentingnya menyusun paket tunjangan yang menyeluruh dan berfokus pada kebutuhan karyawan secara holistik.
Pada akhirnya, untuk bisa mendapatkan karyawan Gen Z yang berkualitas, dibutuhkan peran HRD dalam rekrutmen yang tidak hanya fokus pada pengalaman atau latar belakang pendidikan, tetapi juga mengukur aspek kepribadian, pola pikir, serta potensi belajar dan beradaptasi. Melalui pendekatan ini, perusahaan tidak hanya akan mendapatkan karyawan yang tepat, tetapi juga membangun tim solid, produktif, dan loyal dalam jangka panjang. ***
Kontributor: Roudlotul Auwalina

Human Capital University adalah lembaga pelatihan dan sertifikasi HR terkemuka yang berfokus pada peningkatan kompetensi profesional SDM. Artikel kami disusun oleh para ahli HR dan trainer bersertifikasi untuk membantu profesional, perusahaan, dan fresh graduate meningkatkan keterampilan serta pemahaman mereka dalam dunia HR



